Tuesday, June 17, 2014

Kebudayaan Islam Seperti Lukisan Al Qur'an

KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN            (1/6)
Muhammad Husain Haekal
 
MUHAMMAD telah meninggalkan warisan rohani yang agung,
yang telah menaungi dunia dan memberi arah kepada
kebudayaan dunia selama dalam beberapa abad yang lalu.
Ia akan terus demikian sampai Tuhan menyempurnakan
cahayaNya ke seluruh dunia. Warisan yang telah memberi
pengaruh besar pada masa lampau itu, dan akan demikian,
bahkan lebih lagi pada masa yang akan datang, ialah
karena ia telah membawa agama yang benar dan meletakkan
dasar kebudayaan satu-satunya yang akan menjamin
kebahagiaan dunia ini. Agama dan kebudayaan yang telah
dibawa Muhammad kepada umat manusia melalui wahyu Tuhan
itu, sudah begitu berpadu sehingga tidak dapat lagi
terpisahkan.
 
Kalau pun kebudayaan Islam ini didasarkan kepada metoda-metoda
ilmu pengetahuan dan kemampuan rasio, - dan dalam hal ini sama
seperti yang menjadi pegangan kebudayaan Barat masa kita
sekarang, dan kalau pun sebagai agama Islam berpegang pada
pemikiran yang subyektif dan pada pemikiran metafisika namun
hubungan antara ketentuan-ketentuan agama dengan dasar
kebudayaan itu erat sekali. Soalnya ialah karena cara
pemikiran yang metafisik dan perasaan yang subyektif di satu
pihak, dengan kaidah-kaidah logika dan kemampuan ilmu
pengetahuan di pihak lain oleh Islam dipersatukan dengan satu
ikatan, yang mau tidak mau memang perlu dicari sampai dapat
ditemukan, untuk kemudian tetap menjadi orang Islam dengan
iman yang kuat pula. Dari segi ini kebudayaan Islam berbeda
sekali dengan kebudayaan Barat yang sekarang menguasai dunia,
juga dalam melukiskan hidup dan dasar yang menjadi landasannya
berbeda. Perbedaan kedua kebudayaan ini, antara yang satu
dengan yang lain sebenarnya prinsip sekali, yang sampai
menyebabkan dasar keduanya itu satu sama lain saling bertolak
belakang.

Timbulnya pertentangan ini ialah karena alasan-alasan sejarah,
seperti sudah kita singgung dalam prakata dan kata pengantar
cetakan kedua buku ini. Pertentangan di Barat antara kekuasaan
agama dan kekuasaan temporal1 sebagai bangsa yang menganut
agama Kristen atau dengan bahasa sekarang antara gereja
dengan negara menyebabkan keduanya itu harus berpisah, dan
kekuasaan negara harus ditegakkan untuk tidak mengakui
kekuasaan gereja. Adanya konflik kekuasaan itu ada juga
pengaruhnya dalam pemikiran Barat secara keseluruhan. Akibat
pertama dari pengaruh itu ialah adanya permisahan antara
perasaan manusia dengar pikiran manusia, antara pemikiran
metafisik dengan ketentuan-ketentuan ilmu positif (knowledge
of reality) yang berlandaskan tinjauan materialisma.
Kemenangan pikiran materialisma ini besar sekali pengaruhnya
terhadap lahirnya suatu sistem ekonomi yang telah menjadi
dasar utama kebudayaan Barat.

Sebagai akibatnya, di Barat telah timbul pula aliran-aliran
yang hendak membuat segala yang ada di muka bumi ini tunduk
kepada kehidupan dunia ekonomi. Begitu juga tidak sedikit
orang rang ingin menempatkan sejarah umat manusia dari segi
agamanya, seni, f1lsafat, cara berpikir dan pengetahuannya -
dalam segala pasang surutnya pada berbagai bangsa - dengan
ukuran ekonomi. Pikiran ini tidak terbatas hanya pada sejarah
dan penulisannya, bahkan beberapa aliran filsafat Barat telah
pula membuat pola-pola etik atas dasar kemanfaatan materi ini
semata-mata. Sungguh pun aliran-aliran demikian ini dalam
pemikirannya sudah begitu tinggi dengan daya ciptanya yang
besar sekali, namun perkembangan pikiran di Barat itu telah
membatasinya pada batas-batas keuntungan materi yang secara
kolektif dibuat oleh pola-pola etik itu secara keseluruhan.
Dan dari segi pembahasan ilmiah hal ini sudah merupakan suatu
keharusan yang sangat mendesak.
 
Sebaiiknya mengenai masalah rohani, masalah spiritual, dalam
pandangan kebudayaan Barat ini adalah masalah pribadi semata,
orang tidak perlu memberikan perhatian bersama untuk itu. Oleh
karenanya membiarkan masalah kepercayaan ini secara bebas di
Barat merupakan suatu hal yang diagungkan sekali, melebihi
kebebasan dalam soal etik. Sudah begitu rupa mereka
mengagungkan masalah kebebasan etik itu demi kebebasan ekonomi
yang sudah sama sekali terikat oleh undang-undang.
Undang-undang ini akan dilaksanakan oleh tentara atau oleh
negara dengan segala kekuatan yang ada.

Kebudayaan yang hendak menjadikan kehidupan ekonomi sebagai
dasarnya, dan pola-pola etik didasarkan pula pada kehidupan
ekonomi itu dengan tidak menganggap penting arti kepercayaan
dalam kehidupan umum, dalam merambah jalan untuk umat manusia
mencapai kebahagiaan seperti yang dicita-citakannya itu,
menurut hemat saya tidak akan mencapai tujuan. Bahkan
tanggapan terhadap hidup demikian ini sudah sepatutnya bila
akan menjerumuskan umat manusia ke dalam penderitaan berat
seperti yang dialami dalam abad-abad belakangan ini. Sudah
seharusnya pula apabila segala pikiran dalam usaha mencegah
perang dan mengusahakan perdamaian dunia tidak banyak membawa
arti dan hasilnya pun tidak seberapa. Selama hubungan saya
dengan saudara dasarnya adalah sekerat roti yang saya makan
atau yang saudara makan, kita berebut, bersaing dan bertengkar
untuk itu, masing-masing berpendirian atas dasar kekuatan
hewaninya, maka akan selalu kita masing-masing menunggu
kesempatan baik untuk secara licik memperoleh sekerat roti
yang di tangan temannya itu. Masing-masing kita satu sama lain
akan selalu melihat teman itu sebagai lawan, bukan sebagai
saudara. Dasar etik yang tersembunyi dalam diri kita ini akan
selalu bersifat hewani, sekali pun masih tetap tersembunyi
sampai pada waktunya nanti ia akan timbul. Yang selalu akan
menjadi pegangan dasar etik ini satu-satunya ialah keuntungan.
Sementara arti perikemanusiaan yang tinggi, prinsip-prinsip
akhlak yang terpuji, altruisma, cinta kasih dan persaudaraan
akan jatuh tergelincir, dan hampir-hampir sudah tak dapat
dipegang lagi.
 
Apa yang terjadi dalam dunia dewasa ini ialah bukti yang
paling nyata atas apa yang saya sebutkan itu. Persaingan dan
pertentangan ialah gejala pertama dalam sistem ekonomi, dan
itu pula gejala pertamanya dalam kebudayaan Barat, baik dalam
paham yang individualistis, maupun sosialistis sama saja
adanya. Dalam paham individualisma, buruh bersaing dengan
buruh, pemilik modal dengan pemilik modal. Buruh dengan
pemilik modal ialah dua lawan yang saling bersaing.
Pendukung-pendukung paham ini berpendapat bahwa persaingan dan
pertentangan ini akan membawa kebaikan dan kemajuan kepada
umat manusia. Menurut mereka ini merupakan perangsang supaya
bekerja lebih tekun dan perangsang untuk pembagian kerja, dan
akan menjadi neraca yang adil dalam membagi kekayaan.
 
Sebaliknya paham sosialisma yang berpendapat bahwa perjuangan
kelas yang harus disudahi dengan kekuasaan berada di tangan
kaum buruh, merupakan salah satu keharusan alam. Selama
persaingan dan perjuangan mengenai harta itu dijadikan pokok
kehidupan, selama pertentangan antar-kelas itu wajar, maka
pertentangan antar-bangsa juga wajar, dengan tujuan yang sama
seperti pada perjuangan kelas. Dari sinilah konsepsi
nasionalisma itu, dengan sendirinya, memberi pengaruh yang
menentukan terhadap sistem ekonomi. Apabila perjuangan
bangsa-bangsa untuk menguasai harta itu wajar, apabila adanya
penjajahan untuk itu wajar pula, bagaimana mungkin perang
dapat dicegah dan perdamaian di dunia dapat dijamin? Pada
menjelang akhir abad ke-20 ini kita telah dapat menyaksikan -
dan masih dapat kita saksikan - adanya bukti-bukti, bahwa
perdamaian di muka bumi dengan dasar kebudayaan yang semacam
ini hanya dalam impian saja dapat dilaksanakan, hanya dalam
cita-cita yang manis bermadu, tetapi dalam kenyataannya tiada
lebih dari suatu fatamorgana yang kosong belaka.

Kebudayaan Islam lahir atas dasar yang bertolak belakang
dengan dasar kebudayaan Barat. Ia lahir atas dasar rohani yang
mengajak manusia supaya pertama sekali dapat menyadari
hubungannya dengan alam dan tempatnya dalam alam ini dengan
sebaik-baiknya. Kalau kesadaran demikian ini sudah sampai ke
batas iman, maka imannya itu mengajaknya supaya ia tetap
terus-menerus mendidik dan melatih diri, membersihkan hatinya
selalu, mengisi jantung dan pikirannya dengan prinsip-prinsip
yang lebih luhur - prinsip-prinsip harga diri, persaudaraan,
cinta kasih, kebaikan dan berbakti. Atas dasar prinsip-prinsip
inilah manusia hendaknya menyusun kehidupan ekonominya. Cara
bertahap demikian ini adalah dasar kebudayaan Islam, seperti
wahyu yang telah diturunkan kepada Muhammad, yakni mula-mula
kebudayaan rohani, dan sistem kerohanian disini ialah dasar
sistem pendidikan serta dasar pola-pola etik (akhlak). Dan
prinsip-prinsip etik ini ialah dasar sistem ekonominya. Tidak
dapat dibenarkan tentunya dengan cara apa pun mengorbankan
prinsip-prinsip etik ini untuk kepentingan sistem ekonomi
tadi.
 
Tanggapan Islam tentang kebudayaan demikian ini menurut hemat
saya ialah tanggapan yang sesuai dengan kodrat manusia, yang
akan menjamin kebahagiaan baginya. Kalau ini yang ditanamkan
dalam jiwa kita dan kehidupan seperti dalam kebudayaan Barat
itu kesana pula jalannya, niscaya corak umat manusia itu akan
berubah, prinsip-prinsip yang selama ini menjadi pegangan
orang akan runtuh, dan sebagai gantinya akan timbul
prinsip-prinsip yang lebih luhur, yang akan dapat mengobati
krisis dunia kita sekarang ini sesuai dengan tuntunannya yang
lebih cemerlang.
 
Sekarang orang di Barat dan di Timur berusaha hendak mengatasi
krisis ini, tanpa mereka sadari - dan kaum Muslimin sendiri
pun tidak pula menyadari - bahwa Islam dapat menjamin
mengatasinya. Orang-orang di Barat dewasa ini sedang mencari
suatu pegangan rohani yang baru, yang akan dapat menanting
mereka dari paganisma yang sedang menjerumuskan mereka; dan
sebab timbulnya penderitaan mereka itu, penyakit yang
menancapkan mereka ke dalam kancah peperangan antara sesama
mereka, ialah mammonisma - penyembahan kepada harta.
Orang-orang Barat mencari pegangan baru itu didalam beberapa
ajaran di India dan di Timur Jauh; padahal itu akan dapat
mereka peroleh tidak jauh dari mereka, akan mereka dapati itu
sudah ada ketentuannya didalam Qu'ran, sudah dilukiskan dengan
indah sekali dengan teladan yang sangat baik diberikan oleh
Nabi kepada manusia selama masa hidupnya.
 
Bukan maksud saya hendak melukiskan kebudayaan Islam dengan
segala ketentuannya itu disini. Lukisan demikian menghendaki
suatu pembahasan yang mendalam, yang akan meminta tempat
sebesar buku ini atau lebih besar lagi. Akan tetapi - setelah
dasar rohani yang menjadi landasannya itu saya singgung
seperlunya - lukisan kebudayaan itu disini ingin saya
simpulkan, kalau-kalau dengan demikian ajaran Islam dalam
keseluruhannya dapat pula saya gambarkan dan dengan
penggambaran itu saya akan merambah jalan ke arah pembahasan
yang lebih dalam lagi. Dan sebelum melangkah ke arah itu
kiranya akan ada baiknya juga saya memberi sekadar isyarat,
bahwa sebenarnya dalam sejarah Islam memang tak ada
pertentangan antara kekuasaan agama (theokrasi) dengan
kekuasaan temporal, yakni antara gereja dengan negara. Hal ini
dapat menyelamatkan Islam dari pertentangan yang telah
ditinggalkan Barat dalam pikiran dan dalam haluan sejarahnya.

Islam dapat diselamatkan dari pertentangan serta segala
pengaruhnya itu, sebabnya ialah karena Islam tidak kenal apa
yang namanya gereja itu atau kekuasaan agama seperti yang
dikenal oleh agama Kristen. Belum ada orang di kalangan
Muslimin - sekalipun ia seorang khalifah - yang akan
mengharuskan sesuatu perintah kepada orang, atas nama agama,
dan akan mendakwakan dirinya mampu memberi pengampunan dosa
kepada siapa saja yang melanggar perintah itu. Juga belum ada
di kalangan Muslimin - sekalipun ia seorang khalifah - yang
akan mengharuskan sesuatu kepada orang selain yang sudah
ditentukan Tuhan di dalam Qur'an. Bahkan semua orarg Islam
sama di hadapan Tuhan. Yang seorang tidak lebih mulia dari
yang lain, kecuali tergantung kepada takwanya - kepada
baktinya. Seorang penguasa tidak dapat menuntut kesetiaan
seorang Muslim apabila dia sendiri melakukan perbuatan dosa
dan melanggar penntah Tuhan. Atau seperti kata Abu Bakr
ash-Shiddiq kepada kaum Muslimin dalam pidato pelantikannya
sebagai Khalifah "Taatilah saya selama saya taat kepada
(perintah) Allah dan RasulNya. Tetapi apabila saya melanggar
(perintah) Allah dan Rasul maka gugurkanlah kesetiaanmu kepada
saya."
 
Kendatipun pemerintahan dalam Islam sesudah itu kemudian
dipegang oleh seorang raja tirani, kendatipun di kalangan
Muslimin pernah timbul perang saudara, namun kaum Muslimin
tetap berpegang kepada kebebasan pribadi yang besar itu, yang
sudah ditentukan oleh agama, kebebasan yang sampai menempatkan
akal sebagai patokan dalam segala hal, bahkan dijadikan
patokan didalam agama dan iman sekalipun. Kebebasan ini tetap
mereka pegang sekalipun sampai pada waktu datangnya
penguasa-penguasa orang-orang Islam yang mendakwakan diri
sebagai pengganti Tuhan di muka bumi ini - bukan lagi sebagai
pengganti Rasulullah. Padahal segala persoalan Muslimin sudah
mereka kuasai belaka, sampai-sampai ke soal hidup dan matinya.
 
Sebagai bukti misalnya apa yang sudah terjadi pada masa
Ma'mun, tatkala orang berselisih mengenai Qur'an: makhluk atau
bukan makhluk - yang diciptakan atau bukan diciptakan! Banyak
sekali orang yang menentang pendapat Khalifah waktu itu,
padahal mereka mengetahui akibat apa yang akan mereka terima
jika berani menentangnya.

Dalam segala hal akal pikiran oleh Islam telah dijadikan
patokan. Juga dalam hal agama dan iman ia dijadikan patokan.
Dalam firman Tuhan:
 
"Perumpamaan orang-orang yang tidak beriman ialah seperti
(gembala) yang meneriakkan (ternaknya) yang tidak mendengar
selain suara panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan
buta, sebab mereka tidak menggunakan akal pikiran." (Qur'an,
2: 171)
 
Oleh Syaikh Muhammad Abduh ditafsirkan, dengan mengatakan:
"Ayat ini jelas sekali menyebutkan, bahwa taklid (menerima
begitu saja) tanpa pertimbangan akal pikiran atau suatu
pedoman ialah bawaan orang-orang tidak beriman. Orang tidak
bisa beriman kalau agamanya tidak disadari dengan akalnya,
tidak diketahuinya sendiri sampai dapat ia yakin. Kalau orang
dibesarkan dengan biasa menerima begitu saja tanpa disadari
dengan akal pikirannya, maka dalam melakukan suatu perbuatan,
meskipun perbuatan yang baik, tanpa diketahuinya benar, dia
bukan orang beriman. Dengan beriman bukan dimaksudkan supaya
orang merendah-rendahkan diri melakukan kebaikan seperti
binatang yang hina, tapi yang dimaksudkan supaya orang dapat
meningkatkan daya akal pikirannya, dapat meningkatkan diri
dengan ilmu pengetahuan, sehingga dalam berbuat kebaikan itu
benar-benar ia sadar, bahwa kebaikannya itu memang berguna,
dapat diterima Tuhan. Dalam meninggalkan kejahatan pun juga
dia mengerti benar bahaya dan berapa jauhnya kejahatan itu
akan membawa akibat."
 
Inilah yang dikatakan Syaikh Muhammad Abduh dalam menafsirkan
ayat ini, yang di dalam Qur'an, selain ayat tersebut sudah
banyak pula ayat-ayat lain yang disebutkan secara jelas
sekali. Qur'an menghendaki manusia supaya merenungkan alam
semesta ini, supaya mengetahui berita-berita sekitar itu, yang
kelak renungan demikian itu akan mengantarkannya kepada
kesadaran tentang wujud Tuhan, tentang keesaanNya.
 
Sumber : http://media.isnet.org/islam/Haekal/Muhammad/Budaya1.html#649a 

0 comments:

Post a Comment